CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Tuesday, January 16, 2007

Tiga lelaki

Hari itu cuaca sangat panas walaupun diujung langit tampak awan gelap. Saya baru saja sampai diujung jalan untuk mengambil angkutan umum. Sudah hampir tengah hari memang. Keringat bercucuran di balik baju demi untuk menjemput seseorang yang pasti akan menyodorkan sebentuk rindu dengan pita merah muda di atasnya.
Mobil pertama yang kutumpangi berjalan tidak terlalu cepat. Padahal saya sudah sangat gerah. Lambat bergerak. Saya kemudian menyesal tidak membawa kendaraan sendiri saja. Ungkapan halus untuk mengatakan tidak punya.
Setelah hampir 30 menit perjalanan, akhirnya saya sampai juga di depan pintu masuk salah satu universitas terkenal di kawasan timur negara ini. Membeli minuman kotak dan iseng-iseng menanyakan koran yang terbit hari itu. Sambil menikmati air yang mengairi kerongkonganku, sayapun menanti kendaraan yang akan melanjutkan perjalananku.
Kendaraan itu tibalah. Supirnya menyuruhku naik dengan sedikit memaksa. Karena tidak ingin membuat penumpang yang lain protes dalam hati sayapun mempercpat langkah. Mengambil posisi di dekat pintu untuk menikmati angina segar. Minuman kotak akhirnya tandas sudah. Angkutan ini akan menghantar saya ke terminal di perbatasan kota. Angkutan ini sedikit-sedikit berhenti. Saya sedikit dibuat mual olehnya. Sungguh menyesal tidak membawa sesuatu yang bisa dibaca. Terkantuk-kantuklah saya di mobil.
Di jalan masuk terminal, saya melihat banyak mobil yang parker yang akn membawaku ke tujuan akhir. Dengan manisnya sang supir bertanya,
” Ada yang ke Maros?”, tidak ada penumpang yang menjawab. Saya menoleh ke kiri dan ke kanan mencari teman tetapi kemudian pupus harapan, dan mengangkat tangan. Maroslah tujuanku.
“Nanti diluar kita’ turun De’ di’?”, ucap sang supir kepadaku melalui kaca spion.
Sayapun cuma mengangguk. Terus terang saja ini pertama kalinya saya mengarungi terminal Daya menggunakan angkot. Semoga saja saya tidak kesasar. Setelah berjalan cukup lama. Saya menjadi bingung karena terlalu banyak kitaran yang tidak penting. Membuat saya berpikir berap liter bensin yang harus dihabiskan untuk berputar-putar dalam terminal ini? Apakah sebanding dengan penumpang yang naik? Ah, sudah hampir di pintu keluar tapi saya belum juga diijinkan turun oleh sang supir. Dan dia tetap mengulang kata-katanya yang tadi,
“Nanti diluar turunnya”, katanya dan saya cuma manut saja.
Tepat lepas lampu merah, membelok sekitar 10 meter angkutan itupun berhenti. Dan supirnya mempersilahkan saya turun. Saya membayar dan mengucapkan terima kasih. Terima kasih karena telah menunjukkan jalan yang benar dan termia kasih karena tidak memanggilku dengan sebutan Bu’.
Saya kemudian berpindah angkutan lagi. Naik ke atas angkot setelah Pak Supir mengiyakan tujuan. Ternyata hanya ada saya dan seorang ibu dengan barang belanjaannya. Alamat ngetem niy...Sepertinya angkot tujuan Maros sulit sekali menarik penumpang seteah dilarang mengambil penumpang di dalam kota. Saya duduk di posisi favorit, dekat pintu. Kali ini hanya panas yang terasa karena angkutannya belum beranjak juga. Matahari semakin lucu saja. Satu penumpang naik. Dua penumpang. Tiga penumpang. Sudah lima penumpang di atas mobil plus seorang anak kecil. Akhirnya angkutan itu jalan juga. Di daerah Sudiang seorang pria naik.Sepertinya kakak dari kenalan Pak Supir. Dia duduk di sudut dalam mobil. Angkutan itupun berjalan lagi. Berhenti ketika melihat seorang pria paruh baya, dan lelaki itu menggeser kedudukanku. Panas sekali. Saya berusaha membuka jendela tapi tidak bisa. Menggunaan dua tangan tetap tidak bisa. Lelaki kenalan Pak Supir itu kemudian membantuku untuk membukakan. Berhasil! Terima kasih sekali. Dan diapun tersenyum. Akhirnya saya bisa menikmati semilir angin yang berhembus. Di angkutan ini untungnya bukan hanya saya saja yang menuju ke Bandara Hasanuddin, jadi saya tidak perlu mengalami pengalaman buruk untuk kedua kalinya. Yakni, berjalan dari jaln poros Maros-Makassar sampai ke Terminal Kedatangan.
Sampai di tujuan saya beralih ke handphone yang bergetar. Ternyaa pesawatnya tertunda dua jam. Saya berjalan menuju ke warung waralaba yang ada di bandara. Memesan makanan untuk mengganjal perut. Mulai makan dan minum. Dua orang pria tampak mengisi kursi di sebelahku. Makananku sudah habis. Betapa lamanya waktu berjalan. Bengonglah saya sendirian di tempat itu. Mataku mulai mengamati orang-orang yang ada disitu. Ada keluarga besar lengkap dengan nenek dan cucu, ada dua orang bule bagpackers, ada anak sekolahan, ada pegawai bandara dan lain-lain. Semuanya beramai-ramai dan saya hanya sendirian. Saya menyeruput minuman yang tinggal seperempat. Memaperhatikan gambar tentang sejarah restoran itu berdiri, dan terdengarlah suara dari meja sebelah,
“Mari makan,” saya sedikit terkejut dan tersenyum,
“Silahkan,” jawab saya sambil mengangkat kotak stereofoam yang telah kosong. Lelaki itupun melanjutkan makannya.
Lima belas menit lagi sebelum mendarat. Waktunya untuk meninggalkan tempat ini. Saya menghabiskan orange float saya. Berjalan keluar dengan hati riang.

Kita tidak akan pernah tahu akan bertemu siapa dalam kehidupan ini dan siapa yang membuat hidup kita akan terasa lebih mudah...(sok bijak niy..:))

0 komentar: