CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Friday, February 27, 2009

catatan setelah setahun

Entah sudah berapa orang -semenjak saya hijrah ke jakarta- butuh untuk bertanya dua kali atau lebih setiap menanyakan asal diri saya. Seperti ini:
Orang Bertanya A: Kemarin tes dimana?
Saya : Di Makassar
Orang Bertanya A: OOOooo...orang Makassar toh..Makassarnya sebelah mana?
Saya : (Bingung)..Hmmm, Makassarnya ya di Makassar
Orang Bertanya A: (Bingung)
Saya : Makassar..eh Ujung Pandang
Langsung orang tersebut memasang tampang cerah.

Ok. Saya tidak tahu kalau ternyata asal daerah saya not-too-famous-enough hahahhaha. Mungkin karena ada perubahan nama kali ya. Seingat saya nama ibukota Sulawesi Selatan berubah kembali menjadi Makassar sekitar tahun 1998-1999. 10 tahun yang lalu. Sekedar informasi, saya tidak setuju dengan nama itu. Mungkin karena Ujung Pandang lebih universal. Dan masih saja ada orang yang tidak tahu tentang itu. Seperti Sheila, teman saya di kantor, dia tahunya kalau Ujung Pandang itu telah ganti nama jadi Makassar setelah dia mengenal saya. How lucky you, Sheil!

Di Jakarta, saya pernah menggunakan dialek Jakarta jika sedang bersama atau bertemu teman sekampung. Di manapun itu. Kadang-kadang ada tampang heran juga sih dari orang-orang di atas angkot misalnya. Sudah beberapa kali di"tebak" sama orang di angkot atau orang di toko karena dialek ini. Ada satu cerita, hari itu saya menemani sepupu saya membeli kain di sekitar Fatmawati, saya dan dia menggunakan bahasa daerah Makassar untuk menjelaskan tentang kain yang dipilah. Ternyata yang punya toko mengerti bahasa Makassar. Hahahahha.. tapi saya tetap cuek saja.

Barusan tadi, sebelum jadwal shift malam mulai, saya singgah di Akang (sejenis warteg) untuk membeli es jeruk. Seperti biasa di warung itu banyak bapak-bapak yang sering nongkrong. Sheila dan Dwi mengambil jarak dan membiarkan saya masuk ke warung sendirian. Sayapun diinterogasi salah seorang bapak disitu (menanyakan tentang kapan hujan, kapan musim panas datang, dsb) yang berakhir dengan pertanyaan.
Bapak Warung Akang : "Kemarin tes dimana?"
Saya : "Di Makassar"
Bapak Warung Akang : "Eh orang Makassar. Bapak yang sana juga orang Makassar" (sembari menunjuk temannya yang entah berdiri di mana, karena saya membelakangi arah bapak itu menunjuk)

Tiba-tiba datang Bapak berpostur besar memakai baju merah garis-garis putih horizontal (saya suka rimanya :-P). Bapak itu langsung bertanya.
Bapak Garis-garis : "Makassar di mana?"
Saya : "Di Makassar"
Bapak Garis-garis: "Makassar atau Bugis?"
Saya :"(saya langsung mengerti, mungkin dia mengira saya orang bersuku Makassar) Bugis"
Bapak Garis-garis : "Bugis pole tegaki',Ndi'?"
Saya: "Iye, Soppeng"
Bapak Garis-garis : "Oooo Soppeng, hati-hatiki Ndi'"
Saya : "Iye, mari"

Sayapun berpamitan. Saya mengerti bahasa Bugis dan bahasa Makkassar, walaupun tidak bisa melafalkannya. Dan setiap seseorang yang tiba-tiba mengajak saya bicara karena merasa saya berasal dari daerah yang sama saya langsung "mengganti lidah" saya ke kondisi "default"nya.

Ngomong-ngomong, ternyata JK jadi orang nomor dua di negeri ini belum bisa membuat Makassar menjadi seterkenal Jakarta ya?

1 komentar:

Pia said...

sudah setahun di?? ndak terasa, banyak mi y posting ttg ini..tinggal saya y belum
MAkassar, dari pada Kendari cha, ndak dikenal kasian, hiks...
ganti lidah ke posisi default, heheheeh..sama dunk...pake 4 setingan, kendari, makassar, jakarta, ma Muna..
salam n barakallahu na Ocha....